Menurut
Thomas Kuhn, paradigma dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau
model yang dengannya seorang ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model
within which a scientist works). Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar
yang menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi
beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode yang
dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya, setiap
keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam
bangun suatu paradigma.
Sejak awal
penyelidikan ilmiah tentang perilaku abnormal dimulai, terdapat dua sudut
pandang utama yang berkembang: (1) somatogenik, yang berasumsi
bahwa setiap keterbelakangan mental disebabkan oleh suatu ketidakberfungsian
fisik; dan (2) psikogenik, yang berasumsi bahwa penderita sakit
yang tidak bermasalah atau sukar dipahami secara fisik harus dijelaskan dalam
terma-terma psikologis.
Psikologi
abnormal kontemporer mengenal setidaknya lima paradigma atau model utama,
yaitu: (1) fisiologis; (2) psikoanalitis; (3) pembelajaran; (4) kognitif;
dan (5) humanistis.
Paradigma Fisologis
Paradigma
fisiologis (physiological paradigm) biasanya mengarah pada model
penyakit atau medis (medical or disease model). Maher mengatakan,
“perilaku menyimpang diistilahkan sebagai patologi dan diklasifikasikan
berdasarkan symptom, dimana pengklasifikasiannya disebut diagnosis.
Proses-proses yang didesain untuk mengubah perilaku tersebut disebut terapi dan
diaplikasikan kepada pasien di rumah sakit jiwa (mental hospitals). Jika
perilaku menyimpangnya hilang, pasien bisa dinyatakan sebagai sembuh (cured).”
Dalam
paradigma medis ini, perilaku abnormal diserupakan dengan suatu penyakit.
Awalnya, penyakit hanya dipahami sebagai sekedar tanda-tanda atau symptom yang
teramati, tetapi sejak muncul germ theory dari Louis Pasteur, penyakit
dijelaskan sebagai akibat dari infeksi sejenis organisme atau virus. Sekalipun
kemudian diketahui bahwa tidak semua jenis penyakit bisa dijelaskan dengan
menggunakan teori benih tersebut. Tetapi dalam paradigma ini, semua penyakit
yang terjadi dibaca sebagai gangguan-gangguan dari proses fisiologis tubuh.
Paradigma Psikoanalitis
Paradigma
psikoanalisis bisa dikatakan paling populer dalam bidang psikopatologi dan
terapi. Sigmund Freud (1856-1939) yang dianggap sebagai bapak psikoanalisa
membagi jiwa kedalam tiga bagian prinsipil, yaitu: id, ego, dan superego. Id
hadir sejak kelahiran manusia yang menjadi bagian dari kepribadian yang
membangun semua energi yang menggerakkan jiwa. Id memiliki dua insting, yaitu
Eros dan Thanatos. Eros adalah kekuatan integratif hidup yang disebut libido
atau energi seksual yang bergerak di atas prinsip kesenangan (pleasure
principle). Ketika memasuki usia enam bulan, bagian kedua kepribadian tumbuh
dalam diri manusia yang disebut ego. Tugas utamanya adalah berhubungan dengan
realitas melalui fungsi-fungsi perencanaan dan membuat keputusan. Jadi, ego
bergerak di atas prinsip kenyataan (reality principle). Bagian ketiga dari
kepribadian adalah superego yang membawa standar moral masyarakat. Superego
berkembang melalui resolusi dari konflik oedipal yang secara umum hal ini
ekuivalen dengan apa yang disebut sebagai nurani atau kata hati (conscience).
Melalui
studinya bersama Breuer, Freud menemukan bahwa ego pada dasarnya bersifat sadar
(conscious), sekalipun ia juga memiliki aspek ketidaksadaran yang disebutnya
mekanisme bertahan (defense mechanism) untuk melindungi diri dari kecemasan
(anxiety). Freud menilai bahwa sebagian besar faktor determinan yang penting
dalam perilaku bersifat tidak tersadari (unconscious). Freud memandang
kepribadian manusia sebagai suatu sistem energi tertutup dimana di dalamnya
bertarung ketiga bagiannya untuk memperebutkan bagian dari energi yang ada.
Pemikiran Freud juga sangat bersifat deterministik, sampai-sampai keseleo lidah
(slips of the tongue) dibaca sebagai akibat dari suatu sebab spesifik dari
ketidaksadaran.
Freud
mengenalkan beberapa macam jenis kecemasan. Pertama ia mengemukakan tentang
neurotic anxiety yang muncul dari terhambatnya impuls-impuls ketidaksadaran.
Karena adanya represi itulah, impuls yang tertahan tertransformasikan menjadi
kecemasan yang bersifat neurotis. Selanjutnya Freud menyajikan pengertian baru
atas konsep kecemasan neurotisnya, dimana hal itu dibaca sebagai buah ketakutan
akan akibat yang bakal diterima jika suatu kebutuhan atau keinginan dituruti.
Jenis kecemasan lainnya adalah kecemasan obyektif (objective anxiety)
yang muncul sebagai akibat dari reaksi ego terhadap bahaya yang bersifat
eksternal, seperti takut kepada harimau dsj. Ada juga yang diistilahkan sebagai
kecemasan moral (moral anxiety) yang terjadi karena takut hukuman atau
perasaan bersalah dan malu karena gagal mematuhi standar moral atau perilaku
yang ada.
Mekanisme
bertahan (defense mechanism) sebagai strategi yang sekalipun tak
tersadari berguna untuk menjaga ego dari kecemasan, memiliki beberapa
bentuknya. Salah satunya yang terpenting adalah represi (repression), dimana
impuls atau pikiran yang tak terpenuhi oleh ego ditekan kedalam ranah
ketidaksadaran. Bentuk-bentuk lainnya adalah projection, displacement, reaction
formation, regression, dan rationalization. Terapi psikoanalitis berusaha
menghilangkan represi-represi tersebut dan berusaha membantu pasiennya
menghadapi konflik masa lalunya dan mengatasinya di bawah terang realitas
kedewasaan.
Paradigma Pembelajaran/ Behavior
Paradigm
Behavioral
or learning paradigms muncul ketika John B. Watson memproklamirkan psikologi
sebagai disiplin keilmuan yang harus didekati secara obyektif eksperimental.
Maka dimulailah berbagai eksperimentasi untuk menyelidiki ‘aspek pembelajaran’
dari perilaku di atas teori S-R (stimulus – respon). Terdapat beberapa model
eksperimentasi ‘aspek pembelajaran’ dari perilaku, antara lain: classical
conditioniong dari Ivan Pavlov (1849-1936), operant conditioning dari Edward Thorndike
(1874-1949) dengan the law of effect-nya yang nanti dikembangkan lebih jauh
oleh Burrhus Frederick Skinner dengan reinforcement-nya, dan modeling yang
dieksperimentasikan oleh Bandura dan Menlove yang kemudian menguatkan teori
mediasi dalam pembelajaran (mediational learning paradigms).
Paradigma Kognitif
Psikologi
kognitif fokus pada bagaimana seseorang menstrukturkan pengalamannya, bagaimana
mereka menjadi menyadarinya, dan mentransformasikan rangsangan kedalam
informasi yang berguna. Kognisi sendiri adalah terma yang merujuk pada
proses-proses mental seperti perceiving, recognizing, conceiving, judging, dan
reasoning. Seseorang menyematkan setiap informasi baru kedalam jaringan
terorganisir dari akumulasi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya yang
biasa disebut sebagai schema. Perbedaan mendasar pandangan kognitif dari
pemikiran analisis mediasional adalah terletak pada aspek interpretasi aktif.
Jika kelompok mediasi melihat stimulus secara otomatis menghasilkan respon
mediasional internal, maka kelompok kognitif memandang minor peran dari
reinforcement. Mereka justru percaya bahwa seseorang secara aktif
menginterpretasikan stimulus dari lingkungannya dan termasuk bagaimana ia
mentransformasikannya untuk mempengaruhi perilaku. Para terapis kognitif
berupaya merubah proses berfikir pasien-pasiennya untuk membantu mereka
mengubah emosi dan perilakunya. Beberapa pola terapi telah diperkenalkan
tokoh-tokohnya dalam hal ini, seperti: cognitive restructuring dari Davison,
rational-emotive dari Albert Ellis, dan selectively abstract dari Aaron Beck.
Paradigma Humanistik
Abraham
Maslow (1908-1970) menyajikan pandangan psikologi humanistik yang mengakui
individu sebagai makhluk yang pada dasarnya positif, sehat, unik, aktif, penuh
potensi, bertujuan, dan baik. Dan segala kepedihan manusia berawal dari
penolakan terhadap semua kebajikan yang dimilikinya tersebut. Paradigma
humanistik meyakini bahwa terapis seharusnya membantu seseorang untuk menemukan
diri mereka sendiri dengan sepenuh perasaan, dan membantunya belajar
mengekspresikan dirinya tanpa terbebani apa yang orang lain fikirkan
tentangnya. Pola terapi yang dikembangkan dalam tradisi ini adalah
client-centered dari Carl Rogers. Inti dari pola ini adalah pengembangan aspek
penerimaan dan penghargaan serta empati terhadap perasaan dan tindakan klien.
Implikasi
paling penting dari paradigma adalah pengaruhnya terhadap cara seorang peneliti
mencari jawaban atas suatu persoalan yang ada. Yang jelas, hingga kini definisi
tentang keabnormalan masih saja muncul beragam, mencakup: statisctical rarity,
subjective distress, disability, dan norm violations. Lepas darimana yang
paling memuaskan, para psikopatologis dapat memakai definisi mana yang paling
tepat untuk kajian mereka.
0 komentar:
Posting Komentar